WELASASIHMEDIA.ID - Secara sufistik, untuk mencapai tingkat penghambaan yang tinggi pada Allah diperlukan cinta yang terhunjam di dalam diri. Kita boleh setuju atau tidak tentang pemikiran seorang tokoh legendaris Sufi wanita, Rabiah Al-Adawiyah tersebut. Kita juga boleh merenungkan kenikmatan cinta yang dipraktikkannya.
Tahu tidak kalau luap cinta Rabiah Al-Adawiyah, diwujudkan ke dalam laku bermesraan dengan Allah yakni selalu menghabiskan jatah waktu untuk beribadah dan berdzikir kepada Allah semata.
Bahkan pernah suatu waktu ada seorang Ulama terkemuka hendak meminangnya. Rabiah Al-adawiyah malah menjawab: “Maaf…Tuan, saya tidak bisa menerima pinangan Baginda, karena cinta Saya sudah dihabiskan untuk kekasih-Ku Allah”.
Lho, kenapa Rabiah Al-Adawiyah bertindak demikian? Sebab dalam pikirannya, cinta kepada manusia hanya akan menghabiskan waktu untuk memalingkan cinta kepada Allah. Tidaklah heran jika ia hanya mengharapkan cinta Allah, bukan cinta manusia.
Pada posisi itu, dirinya sudah sedemikian dimabuk cinta, rindu dan ingin berbicara dengan Allah layaknya sepasang kekasih. Inilah salah satu kenikmatan dalam ibadah yang dirasakan Rabiah Al-Adawiyah yang berbalut cinta.
Cinta (Mahabbah) Rabiah Al-Adawiyah pada Tuhan
Imam Ghazali dalam kitab Mahabbah mengatakan, "Allah adalah yang paling berhak menerima cinta (mustahiq mahabbah). Mahabbah kepada Allah merupakan puncak keberagamaan. Setelah sampai kepada puncak mahabbah tidak ada lagi pendakian. Setiap manusia yang mencapai tingkatan cinta seperti itu yang dirasakan hanyalah kerinduan (syauq) dan kemesraan (uns).”
Mahabatullah merupakan penyerahan diri kepada Allah secara total. Bersandar hanya kepada-Nya, dan mengutamakan ketaatan dalam hidupnya. Cinta seperti ini merupakan puncak kenikmatan ruhani. Hatinya tidak merasa memiliki kenikmatan kecuali menjadikan kecintaan kepada Allah dan rasul-Nya di atas segala-gala.
Jika sudah terjalin cinta antara seorang hamba dengan Tuhannya, Dia (Allah) akan memberikan apa yang dibutuhkan hamba-Nya, seperti yang dilakukan Rabiah Al-Adawiyah, ulama sufi wanita.
Cintanya kepada Allah telah mengarahkan jalan hidup sehingga seluruh gerak jasadnya tercurah untuk-Nya. Ia telah mendaki puncak cinta yang tak bertepi sehingga tak pantas menjalin cinta dengan sesama manusia. Sebab, hatinya takut terbagi menjadi dua. Cinta kepada Allah. Dan, cinta kepada manusia.
Ia pun berlari-lari di jalanan dekat Pasar, seraya meneriakkan rasa cintanya kepada Allah. Untuk meyakinkan umat bahwa segala aktivitas ibadahnya bukan karena berharap surga dan menghindari api neraka. Ibadah Rabiah Al-Adawiyah adalah ibadah yang dilandasi rasa cinta menggebu kepada sang Khaliq yang Mahamencintai.
Maka, yang muncul dari seluruh desah nafas hidupnya adalah keabadian beribadah. Seluruh denyut nadi bertakbir mengagungkan ke-Mahaagung-an sang pencipta kehidupan, Allah Rabbul Izzati.
Makna Kesetiaan Pada Tuhan
Kita jangan terjebak atau mau diperbudak cinta yang menggelapkan alam pikir. Kalau kita gelap mata dan hati dengan cinta, itu pertandanya kita tidak mendasarkannya kepada Allah yang Mahasuci. Jadi, biar tidak terjebak dengan cinta klise atau palsu, saya saranin kalau cinta harus diikuti dengan cinta Hablum Minallah (cinta kepada Allah). Kemudian, cinta Hablum Minannas (cinta kepada manusia).
Cintamu juga akan menukik di kedalaman hati dan jiwa serasa terbang ke awang-awang. Buktinya, Rabiah Al-Adawiyah. Di kedalaman hatinya terpateri asma Allah sehingga ia merasa belum mampu menjalin cinta dengan orang lain. Makanya, ketika seorang Ulama besar sepangkat Hasan Al-Bashri hendak meminangnya, ia segera menolak secara halus.
Mungkin sampai hari ini kita dekat Allah ketika ditimpa suatu persoalan hidup, dan lupa kepada sang Khalik ketika mendapatkan kesenangan. Maka ingatlah! Sebaik-baiknya manusia ialah orang yang dekat dengan Allah ketika dalam kesenangan dan kesusahan. Itulah yang dinamakan dengan pengabdian cinta tanpa henti (the eternal of love).
Kita mestinya lebih mencintai Allah melebihi apa yang kita miliki sekarang. Sebab, yang dimiliki kita sebenarnya adalah kepunyaan-Nya yang harus dikembalikan. Harta, tahta dan pasangan hanyalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah.
”Ya Allah, hamba mohon cinta-Mu dan cinta orang-orang yang mencintai-Mu, serta amalan yang mendekatkan kepada cinta-Mu.” (HR.Tabrani dan Tirmidzi).